Seiring
munculnya arus reformasi di segala bidang di Indonesia, pendidikan merupakan
wilayah yang tidak bisa dianggap ‘enteng’ untuk segera dibenahi dan dicarikan
solusi pemecahannya. Apalagi dengan melihat realitas ketertinggalan pendidikan
di Indonesia dibanding negara-negara lain. Karena pada hakikatnya pendidikan
masih diyakni oleh banyak kalangan sebagai upaya strategis melakukan perubahan,
dan merupakan bentuk upaya ikhtiar dalam membentuk pribadi manusia serta
mempersiapkan generasi muda untuk mengarungi bahtera kehidupan yang lebih baik
di masa yang akan datang.
Lebih-lebih,
sebagaimana disebutkan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004
untuk pembangunan pendidikan, dunia pendidikan Indonesia sekarang ini
menghadapi beberapa tantangan besar. Dan salah satu tantangan yang relevan
dengan konteks internal bangsa adalah; sejalan dengan diberlakukannya otonomi
daerah (desentralisasi), perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem
pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih
demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan atau keadaan daerah dan peserta
didik, serta mendorong partisipasi masyarakat.
Selain
beberapa tantangan tersebut, sebenarnya pendidikan di Indonesia juga masih
menghadapi problem serius terutama terkait dengan image bahwa sekolah di
Indonesia terkesan hanya diperuntukkan untuk golongan berduit saja (baca:
kapitalistik). Hanya orang kayalah yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka
dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sementara orang-orang miskin,
jangankan bisa menyekolahkan anak-anak mereka di perguruang tinggi, untuk
tingkat SD/MI saja mereka sudah kewalahan.
Untuk menghadapi
tantangan dari kenyataan pendidikan yang kapitalistik di Indonesia, maka
diperlukan adanya satu upaya baru dalam proses belajar mengajar. Baru, dalam
pengertian yang selama ini ‘melembaga’ dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan kita
harus segera dibenahi dan direformasi, dalam kontek ini pendidikan tentunya
bukan hanya diperuntukkan bagi mereka yang berduit saja, melainkan pendidikan
untuk semua (education for all). Baik itu wong sugih atau melarat (masyarakat
kaya – miskin) wajib mengenyam pendidikan. Karena memang pendidikan itu pada
dasarnya merupakan hak bagi mereka semua.
Jalan keluar
untuk mengatasi persoalan pendidikan yang cenderung kapitalistik tersebut
dengan menawarkan sekolah gratis dan diperuntukkan untuk semua golongan
masyarakat, sebenarnya telah digariskan oleh undang-undang dasar negara kita
yang menyatakan bahwa semua warga negara berhak memperoleh pendidikan yang
layak, ketiadaan memperoleh kesempatan sekolah merupakan pengingkaran dari
tujuan pendidikan itu sendiri yang mencakup:
a. Pendidikan membentuk
manusia seutuhnya.
b. Pendidikan berlangsung
seumur hidup baik di dalam maupun di luar sekolah.
c. Pendidikan berdasarkan
pada faktor ekologi, yakni kondisi masyarakat yang sedang membangung dengan
kondisi sosial budaya serta alam Indonesia.
d. Berdasarkan penanganan
psikologis belajar modern, anak didik diakui sebagai suatu organisme yang
sedang berkembang, yang berkemampuan, beraktivitas, dan berinteraksi, baik
dengan masyarakat maupun dengan lingkungan.
e. Hasil pendidikan
diharapkan kelak anak didik menjadi manusia atau warga masyarakat yang terampil
bekerja, mampu menyesuaikan dengan lingkungan sekitar dan mampu mengatasi
berbagai masalah yang dihadapinya kini dan mendatang (Paulus Mujiran, 2002:
102).
Itu artinya
sebagaimana adanya alasan konstitusional yakni bunyi amandemen UUD 45 yang ‘mewajibkan’
sekolah. Maka konsep ‘pendidikan untuk semua’ sudah seharusnya dapat
diimplementasikan di negara kita. Hal ini berarti sekolah harus benar-benar
murah dan terjangkau oleh semua warga negara pada tiap lapisan masyarakat.