Kemajuan sains dan teknologi semestinya makin menambah
kesyukuran dan ketundukan kepada Sang Pencipta. Yang terjadi justru sebaliknya,
makin banyak nilai-nilai yang tergeser. Memang, kemajuan ilmu pengetahuan yang
tanpa didasari iman, akan mengantarkan manusia pada perilaku yang menyimpang,
melakukan penghambaan diri terhadap akal. Akal kerap kali diposisikan di atas
segala-galanya. Agama yang semestinya menjadi kebutuhan mendasar bagi rohani
malah dianggap penghambat kemajuan zaman. Manusia-manusia cerdik tapi tak
beriman itu tidak memahami tujuan keberadaannya di dunia ini: beribadah kepada
Allah Swt.
Ibadah yang merupakan kebutuhan asasi rohani manusia
hanya diidentikan dengan symbol-simbol lahir semata. Tidak sedikit dari umat ini
yang belum menyadari urgensi ibadah. Banyak kalangan muda begitu gampang
berseloroh, bahwa ibadah itu urusan lima puluh tahun ke atas. Bahkan, sebagian
orang tua yang ikut-ikutan, mengidentikan bahwa ibadah sebatas di Mesjid.
Sedang di luar, orang bebas berbuat apa saja. Lebih tragis lagi, ada anggapan
biarlah masa muda dipuaskan dengan maksiat, di masa tua tinggal taubat. Boleh
jadi ungkapan tersebut hanya sebatas gurauan semata. Tapi, boleh jadi ia juga
dimaksudkan serius. Tak pelak, fenomena ini makin melahirkan insane-insan yang
bermental hipokrit, hubbud dunya wa karahiyatul maut (cinta dunia dan
takut mati).
Setiap individu muslim harus mengerti tujuan ibadah
secara universal. Tentu saja, itu dilakukan dalam rangka memperjelas arah visi
dan misi muslim dalam mengarungi bahtera keidupan dunia ini. Hal ini juga
ditujukan untuk makin meningkatkan kualitas spiritual.
Secara sederhana, ibadah seorang muslim yang dilakukan
sehari-hari mempunyai beberapa tujuan, di antaranya adalah: Pertama, sebagai
santapan rohani manusia. Manusia dalam mencapai kebutuhannya tidak saja terkait
dengan hal-hal yang bersifat lahiriah, tetapi lebih esensial lagi, ia terkait
erat dengan kebutuhan fundamental dan substansial: ruhiyah. Bila kebutuhan
manusia yang satu ini terpenuhi secara baik dan proporsional, maka manusia akan
menemukan kehidupan dan kemuliaan hakiki dalam hidup ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Kebutuhan ruhiyah bagi setiap manusia tidak dapat dielakkan lagi. Secara fitri
dan nurani, manusia membutuhkan sandaran vertical pada Sang Pencipta. Itu hanya
bias diimplementasikan melalui aktualisasi ‘ibadah’. Karenanya, hati manusia
tak kan pernah baik, tentram dan bahagia, kecuali bila kedekatannya senantiasa
ditautkan degan Rabbul ‘alamin.”
Kedua, ibadah
jalan kebebasan. Orang sering salah kaprah dalam menyikapi makna
“kebebasan”. Agama (Islam) oleh sebagian orang modern dianggap mengikat
kebebasan hak asasi manusia. Padahal bila dicermati dengan seksama,
ideology-ideologi itulah yang menjadikan manusia terbelenggu dalam kehidupan
ini. Konsep-konsep ideology buatan manusia telam menjerumuskan manusia ke dalam
penghambaan diri kepada thagut.
Ketiga, ibadah menempa keunggulan manusia dalam
menghadapi tantangan hidup ini. Kehidupan riil dunia yang kita jalani pada
hakikatnya bukanlah tujuan dan tempat perjhentian terakhir. Ia hanyalah
“terminal transit” menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Ini menjadi
keyakinan fundamental bagi setiap individu muslim. Dalam mengarungi bahtera
yang luas ini, banyak aral yang harus dihadapi manusia. Untuk itu, Allah Swt
melalui Rasul-Nya menggariskan syari’at ibadah sebagai sarana penempaan diri
dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
Keempat, ibadah adalah hak Allah Swt terhadap
hamba-Nya. Dengan merenungi sejenak tentang keberadan kita sebagai manusia
dapat menjadikan kita rendah hati. Tak dapat dipungkiri, sebagai manusia kita
mengalami suatu fase di mana dahulu kita belum menjadi “sesuatu”, lalu dengan
kekuasaan-Nya Dia menjadikan kita sebagai “sesuatu”. Setelah kita lahir ke
dunia, eksistensi kita makin diperkuat oleh Allah Swt sebagai yang termulai dan
mempunyai wibawa tinggi di antara makhluk-makhluk lainnya. Sebagai manusia,
kita diciptakan dalam bentuk rupa yang baik. Dengan karunia akal, Allah
menjadikan manusis sebagai makhluk unggulan. Ini adalah karunia besar yang
harus disyukuri. Sebagai bukti rasa syukur itu, kita wajib memenuhi hak Allah
dengan semestinya, beribadah kepada-Nya dengan penuh keikhlasan. Sebab, ibadah
itu merupakan hak Khaliq (Sang Pencipta) yang sifatnya muytlak atas seluruh
hamba-Nya.
Muadz bin Jabal ra meriwayatkan, “Aku pernah
berboncengan dengan Nabi Saw dalam berkendaraan. Lalu beliau bersabda kepadaku,
“Wahai Muadz! Tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-Nya? Aku menjawab, Allah
dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Beliau bersabda, “Hak Allah atas hamba-Nya
adalah ia beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pemahaman yang baik terhadap berbagai tujuan ibadah ini
dapat menegaskan kesadaran kita tentang tujuan hidup di dunia. Agar kita
termasuk dalam hamba-Nya yang pandai bersyukur. Semoga.
No comments:
Post a Comment